Ingin Ku Jaga TitipanMu
Fachrun Nisa' Tatimma X-2/09
Hehhh… Helaan napas Ibu terdengar begitu berat sesaat setelah ia hempaskan tubuhnya di kursi. Lelah, pasti. Bingung, mungkin. Putus asa, kuharap tidak. Tetapi yang jelas, kulihat lelehan keringat membanjiri sekujur tubuhnya. Pakaiannya basah. Begitupun kerudungnya.
Larut malam, Ayah meminta makanan lain. Meskipun di meja makan tersedia makanan. Ayahpun menyuruh Aku dan Kakak memasak. Namun, aku menolak dengan alasan tidak butuh makan malam.
Ibu yang pulang dari mengantar baju, akhirnya memasak untuk ayah meski dengan keadaan lelah dan mengantuk. Ketika Ibu sedang bersusah payah memasak di dapur, Aku dan Adik yang sedang sibuk memainkan komputer, Ayah dan Kakak yang sedang asyik menonton tv.
“Nisa! Cepat ke dapur, Ibu capek.” kata Ibu yang langsung masuk ke kamar.
“Iya, Buu…” dengan santainya aku menjawab. Kami masih asyik dengan kegiatan kita masing-masing. Aku pikir, tak ada masalah jika di tinggal sebentar. Tiba-tiba….
“Heh! Gorengannya..??!” teriak Ibu yang tiba-tiba keluar dari kamar.
Aku melotot, tersentak dan berjingkat dari tempat itu. Kakakku bergegas lari ke dapur. Ketika Aku melihat ke jendela yang setengah terbuka, bayangan api yang sangat besar terlihat dari dalam rumah. Kebetulan tempat dapur berada di luar belakang rumah dan terbuka. Aku kaget bukan kepayang, ingin mendekat tapi takut tabung gas dan kompor meledak seperti berita di tv.
Ayah mulai mengomel, tapi tak mau bertindak. Ibu yang melihat kejadian itu pasrah. Kakak yang sedang memadamkan api, kewalahan.
BYUURRRR…. Air satu ember di siram di atas kompor dan wajan. Anehnya, kobaran api semakin menjadi-jadi. Tali yang melintang di atas ikut terbakar dan menghitam. Lebih anehnya lagi, yang terbakar bukan kompornya, tapi wajannya.
Setelah guyuran kedua, api itu mulai padam. Phfft,.. Aku cukup trauma dengan kejadian tadi, ini yang kedua kalinya terjadi.
Ayah yang mengomel dari tadi, entah siapa yang dibicarakan. Semua disalahkan, khususnya Aku. Aku yang diberi amanat oleh Ibu, membiarkan begitu saja meski sudah berkata sanggup.
Terdengar suara tangisan Ibu di tempat tidur, hatiku seperti tercabik-cabik. Ingin rasanya kupeluk Ibu dan berkata “maaf”. Tapi, aku tak sanggup mengatakan demikian karena sudah banyak dosaku kepadanya. Ingin rasanya menangis, tapi aku harus tegar seperti Ibu. Ya Allah.. Maafkanlah diriku yang lemah ini, Aku telah menyakiti titipanMu yang sangat mulia dan berarti.
Kesedihan itu menghilang di barengi dengan cuaca pagi yang cerah dan sinar matahari yang langsung mendarat ke rumah kami. Keep smile! ^_^
__Tamat__
Komentar
Posting Komentar
Leave Your Comment! Don't exist spams.